KETAHANAN PANGAN
Makan dan cukup makan
adalah hak dasar setiap orang. Kelaparan mengenaskan bagi yang merasakannya,
aib bagi masyarakat sekitarnya, dan jika massal serta terjadi di tengah
kemakmuran maka merupakan cacat peradaban. Namun ironisnya sampai saat ini
masih sangat banyak penduduk yang menderita kelaparan. September 2009 ini
sekitar 14.98 persen penduduk dunia kekurangan pangan (undernourishment).
Dalam persen, angka kematian akibat kelaparan memang hanya sekitar 0.7; namun
itu berarti lebih dari 7.169.800 orang karena jumlah penduduk dunia adalah
sekitar 6.792 milyar. Jadi, per hari rata-rata lebih dari 13.350 orang mati
akibat kelaparan.
Perubahan iklim dan
krisis finansial global yang kini terjadi mengakibatkan masa depan ketahanan
pangan global menjadi lebih rawan. Terkait dengan itu setiap negara dituntut
untuk memantapkan ketahanan pangannya. Indonesia sebagai Negara agraris dan
pernah mencapai swasembada pangan, diharapkan dapat mencapi dan memantapkan
ketahanan pangan bagi penduduknya.
Kejadian rawan pangan
dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa, bahkan di
beberapa negara berkembang krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintah yang
sedang berkuasa. Sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat erat kaitannya
dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanaan
atau ketahanan nasional. Dalam arti, jika dalam suatu negara terjadi kerawanan
pangan maka kestabilan ekonomi, politik, dan sosial akan terguncang.
Pengertian
Ketahanan Pangan
Undang-undang No.7
Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai : kondisi
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu
tersedianya pangan yang cukup; dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya
kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan
aktif.
Pada tingkat nasional,
ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin
seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; dan
didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber
daya lokal.
Ketahanan pangan
merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi,
dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan
untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas,
keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem
distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga
dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu
dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi
mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu,
keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya. Situasi ketahanan pangan
di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah
penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2.000
kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari
rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta
jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar,
yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan,
2003)
Berdasarkan definisi
ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi
definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi
ketahanan pangan yaitu:
kecukupan ketersediaan
pangan;
stabilitas ketersediaan
pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
aksesibilitas/keterjangkauan
terhadap pangan serta
kualitas/keamanan
pangan
Menurut Bustanul Arifin
(2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk
mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat
Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional
harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar
daerah.
Sejak tahun 1798 ketika
Thomas Malthus memberi peringatan bahwa jumlah manusia meningkat secara
eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat
meningkat secara aritmatika. Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai
peristiwa kelaparan lokal yang kadang-kadang meluas menjadi kelaparan nasional
yang sangat parah diberbagai Negara. Permasalahan diatas adalah cirri sebuah
Negara yang belum mandiri dalam hal ketahanan pangan (Nasoetion, 2008)
Ketahanan pangan
merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini dipandang
strategis karena tidak ada negara yang mampu membangun perekonomian tanpa
menyelesaikan terlebih dahulu masalah pangannya. Di Indonesia, sektor pangan
merupakan sektor penentu tingkat kesejahteraan karena sebagian besar penduduk
yang bekerja on-farm untuk yang berada di daerah pedesaan dan untuk
di daerah perkotaan, masih banyak juga penduduk yang menghabiskan pendapatannya
untuk konsumsi. Memperhatikan hal tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat
mutlak bagi ketahanan nasional. Salah satu langkah strategis untuk untuk
memelihara ketahanan nasional adalah melalui upaya mewujudkan kemandirian
pangan. Secara konsepsional, kemandirian adalah suatu kondisi tidak terdapat
ketergantungan pada siapapun dan tidak ada satu pihakpun yang dapat mendikte
atau memerintah dalam hal yang berkaitan dengan pangan.
Pemberdayaan Petani
dalam Rangka Pemantapan Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan tidak
hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan
untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan
pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan
strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani
adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan
membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki
kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu
sekali peranan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan petani.
Kesejahteraan petani
pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek
ketahanan pangan nasional. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai
faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :
a. Sebagian
petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali
tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor) , dalam hal ini
keterbatasan sumber daya manusia yang ada (rendahnya kualitas pendidikan yang
dimiliki petani pada umumnya) menjadi masalah yang cukup rumit, disisi lain
kemiskinan yang structural menjadikan akses petani terhadap pendidikan sangat
minim.
b. Luas
lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Pada umumnya
petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar, jika
dilihat dari sisi produksi tentu saja dengan luas tanah semacam ini tidak dapat
di gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bagi petani.
c.Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan ,
ketersediaan modal perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah pada
umumnya permasalahan yang paling mendasar yang dialami oleh petani adalah
keterbatasan modal baik balam penyediaan pupuk atau benih.
d. Tidak
adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik.
Petani di Indonesia kebanyakan masih mengolah tanah dengan cara tradisional hanya
sebagian kecil saja yang sudah menggunakan teknologi canggih. Tentu saja dari
hasil produksinya sangat terbatas dan tidak bisa maksimal.
e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang
tidak memadai. Pertanian di Indonesia mayoritas masih berada di wilayah
pedesaan sehingga akses untuk mendapatkan sarana dan prasarana penunjang
seperti air, listrik , kondisi jalan yang bagus dan telekomunikasi sangat
terbatas.
f. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi tawar petani
(bargaining position) yang sangat lemah .
g.
Ketidakmampuan, kelemahan, atau ketidaktahuan petani sendiri.
Tanpa penyelesaian yang
mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan
terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai. Maka disinilah peranan
pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah harus dijadikan sebagai perhatian utama
demi terwujudnya ketahanan pangan karena ketahanan pangan dapat terwujud dengan
baik jika pengelolaanya dikelola mulai dari tataran mikro (mulai dari rumah
tangga), jika akses masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pangan sudah baik
maka ketahanan pangan di tataran makro sudah pasti secara otomatis akan dapat
terwujud.
Dapat kita lihat sampai
sekarang ini program pemerintah dalam kaitanya dengan pembangunan ketahanan
pangan masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, pembangunan
ketahanan pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro saja pemenuhan
pangan pada tingkatan unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan. Untuk
mengatasi hal itu semua ada berbagai upaya pemberdayaan untuk peningkatan
kemandirian masyarakat khususnya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui :
Pertama, pemberdayaan
dalam pengembangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Hal ini
dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti. Teknologi
yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan
dalam kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia
di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat
melalui pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil
kegiatan penelitian yang telah dilakukan para peneliti. Teknologi
tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di lapangan, sedangkan
penguasaan teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan dan penelitian.
Dengan cara tersebut diharapkan akan berkontribusi langsung terhadap
peningkatan usahatani dan kesejahteraan petani.
Kedua, penyediaan
fasilitas kepada masyarakat hendaknya tidak terbatas pengadaan sarana produksi,
tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti
informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta
pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain.
Dengan tersedianya
berbagai fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para
petani dapat berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil
dengan harga yang menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan
petani juga timbul kegairahan dalam mengembangkan usahatani.
Ketiga, Revitalisasi
kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan
melalui pengembangan lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal dan
peningkatan spesifik berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera
masyarakat yang dinamis.
Revitalisasi
kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat yang sangat urgen dilakukan
sekarang adalah pengembnagan lumbung pangan, agar mampu memberikan kontribusi
yang lebih signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan. Untuk itu
diperlukan upaya pembenahan lumbung pangan yangb tidak hanya dakam arti fisik
lumbung, tetapi juga pengelolaannya agar mampu menjadi lembaga penggerak
perekonomian di pedesaan.
Pemberdayaan petani
untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani seperti
diuraikan diatas, hanya dapat dilakukan dengan mensinergikan semua unsur
terkait dengan pembangunan pertanian. Untuk koordinasi antara instansi
pemerintah dan masyarakat intensinya perlu ditingkatkan.
Diversifikasi
dan Ketahanan Pangan
Bagi Indonesia, sumber
kerawanan ketahanan pangan terkait dengan faktor-faktor berikut. Pertama,
jumlah penduduk miskin masih cukup banyak dan karena itu aksesnya terhadap pangan
rendah. Kedua, produksi pangan belum cukup untuk membentuk cadangan pangan yang
memenuhi persyaratan status ketahahan pangan yang mantap. Ketiga, konsumsi
pangan pokok sangat terfokus pada beras, diversifikasi ke arah pangan lokal
kurang berkembang, dan perbaikan pola konsumsi ke arah pola pangan harapan
berlangsung lambat. Pengembangan diversifikasi pangan ke arah bahan pangan
lokal merupakan salah satu cara yang dipandang efektif untuk mengatasi sejumlah
kerawanan tersebut sekaligus untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang
mantap.
Strategi Peningkatan
Ketahanan Pangan
Sejalan dengan otonomi
daerah yang diatur dalam UU No.22 tahun1999 dan PP No.25 tahun 2000, maka
pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di pusat dan daerah
diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah. Dalam PP No. 68 tahun 2002
tentang ketahanan pangan dalam Bab VI pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas
bahwa “Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan atau Pemerintah Desa
melaksanakan kebijakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan
pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar
dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat”. Untuk menguatkan peran dan
tanggung jawab pemerintah daerah, terdapat kesepakatan bersama Gubernur/ketua
DKP (Dinas Ketahanan Pangan) Provinsi yang mengharuskan mereka untuk
mengembangkan berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif
serta berkesinambungan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional. Program
dan kegiatan tersebut menjadi prioritas program pembangunan daerah.
Berkaitan dengan
penurunan proporsi rumah tangga rawan pangan dan penurunan prevelensi gizi
buruk yang sekaligus sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan dan kualitas
sumber daya manusia, peranan pemerintah daerah adalah penting. Mengingat
proporsi rumah tangga rawan pangan dan gizi buruk serta potensi di setiap
daerah aadalah berbeda maka dalam era desentralisasi ini upaya penanggulangan
kerawanan pangan harus dimulai dari daerah, yang berarti terwujudnya ketahanan
pangan nasional harus dimulai dari daerah, yang berarti terwujudnya
ketahanan pangan nasional harus dimulai dengan penguatan ketahanan pangan
daerah. Namun demikian, perwujudan ketahanan pangan tidak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah namun juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu,
partisipasi masyarakat dalam perwujudan ketahanan pangan dan penanggulangan
kerawanan pangan sangat diharapkan.
Pemantapan ketahanan
pangan dapat dilakukan dengan upaya-upaya, antara lain sebagai berikut:
peningkatan
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dengan mengembangkan komoditas
pangan lokal sesuai potensi sumberdaya dan pola konsumsi setempat
peningkatan
produktivitas pertanian melalui akselerasi pemanfaatan teknologi sesuai dengan
kapasitas sumberdaya manusia setempat
pembinaan dan
pendampingan secara intensif dan berkelanjutan pada program-program
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya
manusia
menguatkan jejaring
kerja dan komitmen seluruh pemangku kepentingan terhadap upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan ketahanan pangan rumah tangga.
Dalam jangka panjang,
upaya pemantapan ketahanan pangan dan penanganan rawan pangan di tingkat rumah
tangga dapat dilakukan melalui :
menjaga stabilitas
harga pangan
perluasan kesempatan
kerja dan peningkatan pendapatan
pemberdayaan masyarakat
miskin dan rawan pangan
peningkatan efektivitas
program raskin
penguatan lembaga
pengelola pangan di pedesaan
Pengamanan Ketahanan
Pangan di Negara Lain
Upaya yang dilakukan
Pemerintah
Pemerintah menyiapkan
benih jagung (breeder seed) untuk konsumsi sebanyak 1 ton sebagai langkah
konkret ketahanan pangan nasional. Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi
menjelaskan bahwa penyebaran bibit jagung bernama Srikandi Putih sudah mulai
dilakukan di Jawa Tengah sebanyak 250 kg dan 750 kg yang lain akan disebar di
Jawa Timur dan provinsi lain yang dimungkinkan mengkonsumsi makanan pokok
selain beras. Penanaman jagung ini dilakukan dalam rangka mengganti makanan
pokok beras menjadi jagung sehingga beras dapat dikurangi konsumsinya.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan diperlukan sinergi dan integrasi sistem terkait antara
ketahanan pangan di Indonesia dan peningkatan jumlah penduduk setelah dilakukan
sensus penduduk 2010. Penduduk Indonesia saat ini 230 juta orang, dan
diperkirakan meningkat sekitar 235 juta hingga 240 juta.
Upaya lain yang
dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat melalui
program Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan di Lahan Kering, Pengembangan Desa
Mandiri Pangan, Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP),
Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM), Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi (P2KPG), Penanganan Daerah Rawan
Pangan (PDRP), dan Pengembangan Lumbung Pangan. Untuk program Pengembangan Desa
Mandiri Pangan telah dimulai dari tahun 2006 dengan jumlah desa sebanyak 250,
tahun 2007 sebanyak 354, tahun 2008 sejumlah 221 desa, dan 349 desa untuk
tahun 2009 . jumlah total sampai awal tahun 2010 adalah 1174 desa yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia. Desa Mandiri Pangan ini bertujuan untuk
memberikan bantuan modal lunak kepada rumah tangga miskin agar dapat mengembangkan
usaha yang bisa menghasilkan uang sehingga kebutuhan makanan dapat tercukupi.
Dengan tercukupinya kebutuhan makanan, ketahanan pangan daerah tersebut menjadi
meningkat.
Masalah
dan Tantangan Ketahanan Pangan ke Depan
Secara khusus tantangan
pembangunan ketahanan pangan Indonesia ke depan antara lain: mengembangkan
budidaya komoditas di on-farm yang sesuai dengan persyaratan agroindustri skala
besar, memperbaiki infrastruktur transportasi hingga ke sentra produksi,
mengembangkan agroindustri skala kecil di pedesaan yang terintegrasi dalam
pengembangan berskala kawasan, kerja sama antar kawasan untuk menumbuhkan
agregat permintaan pasar dalam skala wilayah, dan mengembangkan agroindustri
yang berlokasi di pusat-pusat pertumbuhan baru.
Dalam cadangan pangan,
sifat komoditas pangan bersifat musiman, sementara pendapatan masyarakat masih
sangat rendah, sehingga menuntut perlunya cadangan pangan. Di samping itu,
adanya kondisi iklim yang tidak menentu, menyebabkan sering terjadi pergeseran
penanaman, masa pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, timbulnya bencana
yang tidak terduga seperti banjir, longsor, kekeringan, dan gempa, memerlukan
sistem percadangan pangan yang baik. Sampai saat ini, cadangan pemerintah dan
masyarakat belum berkembang dengan baik di daerah.
Potensi pengembangan
cadangan pangan di daerah cukup tinggi, seperti: pengembangan sistem
pencadangan pangan untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3
bulan, pengembangan cadangan pangan hidup pada pekarangan, lahan desa, lahan
tidur, dan tanaman bawah tegakan perkebunan, pengembangan untuk menguatkan
kelembagaan lumbung pangan desa, dan pengembangan sistem cadangan pangan
melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan atau lembaga usaha lainnya.
POLA
PANGAN HARAPAN
A.Pengertian
Pola
pangan harapan merupakan suatu metode yang digunakan untuk ,menilai jumlah dan
komposisi atau ketersediaan pangan. Pola pangan harapan biasanya digunakan
untuk perencanaan konsumsi, kebutuhan dan penyediaan pangan wilayah. Dalam
menentukan PPH ada beberapa komponen yang harus diketahui diantaranya yaitu
konsumsi energi dan zat gizi total, persentase energi dan gizi aktual,
dan skor kecukupan energi dan zat gizi.
MENGHITUNG ENERGI DAN
ZAT GIZI
Energi
dihitung dari total energi yang dikonsumsi dari masing-masing bahan pangan.
Pada cell energi pada sheet PPH diketik =SUM(data energi setiap
golongan bahan pangan pada sheet konsumsi). Selanjutnya dihitung jumlah total
energi untuk semua golongan bahan pangan dengan cara ketik =SUM(data energi
setiap golongan bahan pangan dari padi-paadian sampai yang lainnya).
2 . Menghitung %
energy energy dan zat gizi
Menghitung
persentase nergi energy energy adalah dengan membagi energy setiap golongan
dengan energy total untuk semua golongan. Caranya adalah dengan mengetik
=cell setiap golongan/cell total energy*100.
3 Menghitung
% angka kecukupan energy dan zat gizi
Untuk
menghitung persentase Angka Kecukupan Energi adalah dengan membandingkan
persentase energy energy dengan angka kecukupan energy (2000 kkal) dikali 100.
Untuk rumus formulanya dapat ditulis dengan mengetik =cell % energy
energy/2000*100.
4 Menghitung
skor AKE
Untuk
menghitung skor angka kecukupan energi (AKE) adalah dengan mamasukkan kolom bobot
untuk setiap golongan pangan terlebih dahulu. Bobot menggambarkan kontribusi
setiap golongan bahan pangan dalam menyumbangkan energi. Misalnya untuk
golongan padi-padian bobotnya adalah 0.5, umbi-umbian 0.5 panga hewani 2.0 dan
seterusnya. Selanjutnya adalah menghitung skor aktual energi setiap golongan
bahan pangan yaitu dengan mengalikan persentase AKE setiap golongan bahan
pangan dengan bobot setiap golongan bahan pangan.
CARA PENGHITUNGAN PPH
Penyediaan pangan
terdiri dari komponen produksi, perubahan stok, impor dan ekspor. Rumus
penyediaan pangan adalah :
Ps = Pr - ∆St +
Im – Ek
Dimana:
Ps
: Total penyediaan dalam negeri
Pr
: Produksi
∆St
: Stok akhir – stok awal
Im
: Impor
Ek
: Ekspor
· Ketersediaan
bahan makanan per kapita dalam bentuk kandungan nilai gizinya dengan satuan
kkal energi dan gram protein, menggunakan rumus:
· Ketersediaan
energi (Kkal/Kapita/Hari) =
Ketersediaan
Pangan/Kapita/Hari X Kandungan kalori
X BDD
100
· Ketersediaan
protein (gram/kapita/hari) =
Ketersediaan
pangan/Kapita/Hari X Kandungan protein x BDD
100
Catatan:
· BDD
= Bagian yang dapat dimakan (buku DKBM)
· Ketersediaan
pangan/kapita/hari sumbernya dari Neraca Bahan Makanan (NBM)
· Kandungan
zat gizi (kalori dan protein sumbernya dari daftar komposisi bahan makanan
(DKBM)
· Bagi
komoditas yang data produksinya tidak tersedia (misal komoditas sagu, jagung
muda, gula merah) untuk mendapatkan angka ketersediaan menggunakan pendekatan
angka konsumsi dari data Susenas BPS ditambah 10% dengan asumsi bahwa perbedaan
antara angka kecukupan energi pada tingkat konsumsi dengan angka kecukupan
energi di tingkat ketersediaan sebesar 10%.
Contoh :
Dari rumus perhitungan di atas diperoleh hasil bahwa tingkat ketersedian energi
dan protein pada tahun 2007 – 2008, ternyata sudah melebihi Angka Kecukupan
Gizi yang dianjurkan.
Tahun
|
Energi
|
Protein
|
||
Ketersediaan
(Kkal/Kap/Hr)
|
Tingkat
Ketersediaan (%)
|
Ketersediaan
(Gram/Kap/Hr)
|
Tingkat
Ketersediaan (%)
|
|
2007
|
3.157
|
143,5
|
76,27
|
133,8
|
2008
|
3.056
|
138,9
|
81,20
|
142,5
|
PENGANEKARAGAMAN
PANGAN
Penganekaragaman pangan
adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
peningkatan mutu gizi makanan dengan pola konsumsi yang lebih beragam atau
usaha untuk lebih menganekaragamkan jenis konsumsi dan meningkatkan mutu gizi
makanan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pengertian
penganekaragaman pangan ini dapat dilihat dari dua aspek. Pertama,
penganekaragaman horizontal, yaitu upaya untuk menganekaragamkan konsumsi
dengan memperbanyak macam komoditas pangan dan upaya meningkatkan produksi dari
masing-masing komoditas tersebut.
Sebagai contoh, pengaturan
komposisi makanan sehari-hari kita di samping beras, juga umbi-umbian, sagu,
kacang-kacangan, ikan, sayur, buah dan lain-lainnya. Kedua, penganekaragaman
vertikal, yaitu upaya untuk mengolah komoditas pangan, terutama non beras,
sehingga mempunyai nilai tambah dari segi ekonomi, nutrisi maupun sosial.
Misalnya mengolah jagung menjadi "corn flake", ubi kayu diolah
menjadi berbagai macam makanan, baik makanan pokok, maupun jajanan, seperti
misalnya kripik ("cassava chips").
Mutu gizi makanan
penduduk ditentukan oleh jumlah dan macam zat-zat gizi yang dimakan. Makin
beragam sumber zat-zat gizi (dari beragam bahan pangan) yang dikonsumsi
seseorang makin besar kemungkinan terpenuhi kebutuhan gizinya. Dengan demikian,
dapat kita mengerti betapa pentingnya program penganekaragaman pangan ini.
Untuk memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat ada beberapa faktor yang harus diperhatikan:
•Faktor kecukupan, yaitu tersedianya
bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan. Penyediaan pangan ini sedapat mungkin
diupayakan dari dalam negeri. Impor dilakukan hanya apabila diperlukan, artinya
apabila produksi dalam negeri tidak dapat mencukupi. Oleh karena itu harus
digali sumber pangan yang kita miliki dan ditingkatkan produksinya, termasuk
mengembangkan jenis pangan tradisional seperti: sagu, jagung, ubi kayu, sukun
dan lain-lain.
• Faktor daya beli, yaitu tersedianya
pendapatan yang memadai dan kestabilan harga agar masyarakat mampu untuk
membeli bahan makanan.
• Faktor distribusi, yaitu tersedianya
pangan yang cukup di seluruh wilayah dalam waktu tertentu dan jumlah yang
memadai.
• Faktor gizi, yaitu tersedianya
produksi pangan yang memenuhi kebutuhan gizi, baik secara kualitas maupun
kuantitas.
• Faktor kesadaran/pengetahuan gizi,
yaitu kesadaran atau pengetahuan penduduk mengenai gizi sehingga mereka
mengkonsumsi pangan sesuai dengan harapan (gizi seimbang).
Adakalanya di satu
daerah cukup tersedia bahan makanan yang bergizi tinggi, tetapi karena
masyarakatnya kurang pengetahuan tentang gizi, mereka hanya mengkonsumsi jenis
makanan tertentu saja yang mungkin kurang bergizi. Oleh karena itu perlu
ditumbuhkan pengertian dan keadaran tentang gizi seimbang. Nilai gizi makanan
yang kita konsumsi sehari-hari ditentukan oleh keseimbangan antara konsumsi
karbohidrat (padi-padian), protein (terutama hewani, seperti: daging, telur dan
susu serta ikan), lemak dan vitamin yang
banyak terdapat pada sayur dan buah-buahan serta mineral (air).
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar anda.....!!!!!